Barangkali banyak orang belum mengenal sosok Yap Thiam Hien, namun tidak untuk aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan kalangan advokat. Terlahir di Kutaraja, Banda Aceh, 25 Mei 1939. Yap adalah cucu Kapitan Yap Hun Han, kepala kelompok Cina yang diangkat Belanda. Dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang feodalistis, justru membuat ia membenci kesewenang-wenangan dan penindasan.
Masa kecilnya yang selalu tersisih akibat “mata sipitnya” yang berbeda dengan anak-anak lain. Selama menuntut ilmu di Europe Lagere School (EIS), sekolah dasar khusus untuk orang Belanda, Yap kecil sudah menelan kepahitan diskriminasi rasial. Dalam pelajaran matematika dan sejarah, misalnya, ia selalu mendapat angka 10. Tapi, dalam pelajaran bahasa Belanda, nilainya selalu 6 ke bawah.
Tamat dari MULO Banda Aceh, ia merantau ke Yogyakarta dan masuk ke AMS A-II jurusan Sastra Barat. Di sinilah ia banyak membaca berbagai jenis literatur, baik yang berbahasa Belanda, Jerman, Inggris, Perancis, maupun Latin. Pindah ke Jakarta, ia masuk ke sekolah Chineesche KweekschooI (sekolah guru Belanda untuk orang Cina). Setelah sempat menjadi guru dan pencari pelanggan telepon, ia tertarik kuliah di fakultas hukum. Gelar Meester de Rechten ia raih di Leiden, Belanda. Sejak 1949, dunia advokat mengibarkan namanya.
Pada 1950-1953, ia bekerja sama dengan John Karwin yang bersama Moehtar Kusumaatmadja dan Komar membentuk sebuah kantor pengacara. Lalu bergabung dengan Tan Po Goan (bekas menteri dan anggota parlemen), Lie Hwee Yoe, dan Oei Tjoe Tat selama 17 tahun. Bersama Adnan Buyung Nasution dkk, ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Pada tahun 1970, Yap mendirikan kantor pengacara sendiri. Baginya klien yang paling penting adalah mereka yang tertindas. Sikapnya konsisten menentang penindasan dan pelanggaran HAM. Pada masa Orde Lama, ia mengkritik penahanan Moh. Natsir, Moh. Roem, Mochtar Lubis, Sutan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, dan H. Princen.
Tapi, pada masa Orde Baru ia malah membela Dr. Soebandrio, meskipun ia sendiri anti-komunis. Akibatnya, Yap sempat seminggu mendekam di rumah tahanan Pesing dengan tuduhan terlibat G 30 S. Apalagi Yap turut mendirikan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi Cina peranakan yang didirikannya bersama Siauw Ciok Tjan pada 1954. Padahal jauh sebelum G 30 S, Yap sudah keluar dari organisasi tersebut karena berselisih paham dengan Siauw. Tahun 1974 ia kembali ditahan ketika dituduh terlibat dalam peristiwa Malari.
Meski beberapa kali ditahan, Yap tidak jera untuk melawan kekuasaan yang zalim. “Pemerintah juga harus diberi tahu bahwa mereka telah melakukan kesalahan,” ujarnya. Baca juga sosok A.H. NASUTION Jenderal Konseptor Perang Gerilya dan Dwifungsi ABRI.
Tahun 1980-an, suami Tan Cian Khing Nio itu mengaku kecewa melihat mandulnya hukum di Indonesia. Ia mulai aktif di berbagai LSM dan sempat mendirikan Prison Fellowship, organisasi pelayanan narapidana dan tahanan. Kemudian masuk dalam International NCO Conference on Indonesia (INCI), lembaga yang bertujuan mengembangkan partisipasi rakyat dan LSM dalam pembangunan masyarakat dan negara
Dedikasinya terhadap rakyat dan keadilan telah diakui Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum Indonesia (Pusbadhi). Organisasi ini memberikannya plakat Pengabdi Hukum Teladan. Yap juga menjadi anggota International Commission of Jurist.
Yap Thiam Hien roboh ketika menghadiri pertemuan ke-5 INCI pada 23-25 April 1989 di Brussel, Belgia. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 24 April di Rumah Sakit Santo Agustinus, karena pembuluh darah di perutnya pecah. Bahkan, perdarahan telah terjadi di kala Yap masih berada di dalam pesawat.
Arief Budiman dalam tulisannya di suatu harian (meminjam istilah Harry Tjan Silalahhi) menyebut Yap Thiam Hien sebagai penyandang triple minoritas. Pertama, ia keturunan Cina. Kedua, ia beragama Kristen. Ketiga, ia jujur dan bersih. “Satu minoritas saja sudah membuat dirinya kesepian. Ia tiga sekaligus,” kata Arief.
Kondisinya sebagai minoritas itulah yang membuat Yap selalu peduli pada orang-orang yang senasib dengannya. Adnan Buyung Nasution mengaku terkesan akan mutu ilmu hukumnya yang tinggi dan kegigihannya membela hak-hak terdakwa. “Sebagai ahli hukum memang kapasitasnya biasa-biasa saja. Tapi, yang paling menonjol dari Yap adalah sebagai tokoh moral. Ia selalu memberikan arah pada saat kita lupa, bagai mercusuar,” kata Arief.
Negeri ini pun kehilangan pakar hukum yang konsisten menentang kesewenangan penguasa.
Saya bukan saja membela terdakwa, tapi terutama kebenaran dan keadilan – Yap Thiam Hien
Disclaimer:
Artikel tokoh “Yap Thiam Hien, Advokat dan Penegak HAM” ini tidak dimaksudkan untuk membangkitkan kultus individu atau pemujaan berlebihan terhadap sosok tertentu, melainkan sebagai upaya mencegah amnesia sejarah (khususnya di kalangan generasi muda). Banyak hal yang bisa diteladani dari mereka yang telah mengubah sejarah bangsa ini.
Sumber: 100 TOKOH YANG MENGUBAH INDONESIA: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, Penerbit NARASI, Yogyakarta, 2005
Yap Thiam Hien, Advokat dan Penegak HAM