Pada zaman dahulu batik Jambi hanya dipakai sebagai pakaian adat bagi kaum bangsawan/raja Melayu Jambi, hal ini berawal pada tahun 1875, Haji Muhibat beserta keluarga datang dari Jawa Tengah untuk menetap di Jambi dan memperkenalkan pengolahan batik. Motif batik yang diterapkan pada waktu itu berupa motif-motif ragam hias seperti terlihat pada ukiran rumah adat Jambi dan pada pakaian pengantin, motif ini masih dalam jumlah yang terbatas.
Penggunaan motif batik Jambi, pada dasarnya sejak dahulu tidak dikaitkan dengan pembagian kasta menurut adat, namun sebagai produk yang masih eksklusif pemakaiannya dan masih terbatas di lingkungan istana.
Sejalan dengan perkembangan waktu dan jaman, batik Jambi kini muncul dengan berbagai motif menarik, bahkan hampir setiap kabupaten di Jambi mempunyai motif batik dengan kekhasannya masing-masing. Karakter dan kearifan lokal masyarakat Melayu Jambi dulu, tersimbolisasi dalam berbagai karya seni, salah satunya dalam motif batik Jambi.
Meski belum dilakukan kajian mendalam tentang makna filosofis berbagai motif, namun menurut budayawan Jambi Ja’far Rassuh, penggambaran motif tersebut merupakan representasi watak dan karakter masyarakat Melayu Jambi dengan tipikalnya yang sederhana, egaliter dan terbuka terhadap hal-hal lain di luarnya, meski cenderung lamban merespon perubahan.
Motif pokok pada batik Jambi sangat sederhana, tidak rumit dan cenderung konvensional. Mencirikan watak asli masyarakat Melayu Jambi. Jika ada motif batik Jambi yang rumit dan detailnya kompleks, maka bisa jadi itu adalah motif pengembangan baru yang muncul pada dekade 80-an.
Asianto Marsaid dalam bukunya Pesona Batik Jambi yang diterbitkan oleh Kantor Wilayah Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jambi pada 1998, berupaya menjabarkan makna filosofis dari lima motif pokok batik Jambi.
Lima motif pokok yang diurainya itu termasuk motif kuno dan tertua yang pernah ada di Jambi. Lima motif itu meliputi Durian Pecah, Merak Ngeram, Kuao Berhias, Kapal Sanggat dan Tampuk Manggis.
Daerah Jambi menyatakan hingga kini, satu-satunya ciri khas motif batik Jambi yang dapat dipertanggung jawabkan orisinalitas keberbedaan penciptaannya adalah kesederhanaan bentuk dan kemandirian objek motif tersebut.
Artinya, tidak seperti motif batik dari daerah lain yang cenderung berangkai dan membentuk kesatuan yang utuh serta berulang-ulang, motif batik Jambi berdiri sendiri (ceplok-ceplok), terlepas dari yang lainnya, tidak berangkai dan merangkai, sehingga banyak ruang kosong di antaranya.
Pada batik Jambi kontemporer, ruang kosong itu biasanya diberi isian (ragam hiasan) yang berbentuk tabur titik, tabur bengkok, dan atau belah ketupat. Dan tak jarang pula ruang itu dibiarkan kosong, namun diberi sentuhan warna dasar terang, hijau, merah atau biru.
Warna dasar terang juga merupakan ciri lain batik Jambi klasik dan kontemporer,” katanya. Dalam bukunya Ragam Hias Daerah Jambi (2008) Ja’far Rassuh menuliskan, sedikitnya terdapat sekitar 50 macam motif pada batik Jambi yang ditengarai merupakan motif lama dan pengembangan.
Di antaranya adalah motif Daun Kangkung, Riang-riang, Kaca Piring, Pucuk Rebung, Bungo Durian, Melati, Bungo Jatuh, Bungo Cengkeh, Tabur Bengkok, Tabur Intan, Tabur Titik dan lain sebagainya.
Batik Jambi dengan motif apapun dapat dipakai kapan saja, oleh siapa saja, dan dimana saja. Tidak ada ketentuan yang mengaturnya, karena itu hingga kini belum dapat dipastikan motif apa saja yang merupakan motif tertua atau motif pokok dalam khazanah batik di Jambi.
Pemerintah daerah melalui Dinas Perindustrian dan dinas terkait lainnya hingga kini terus melakukan pembinaan terhadap para pembatik agar mampu meningkatkan kualitas dan ragam serta corak batik Jambi sehingga bisa menembus pasar dan makin disukai.
Kearifan Lokal Pada Batik Jambi