Bang Ali Sadikin, panggilan populernya, lahir di Sumedang, Jawa Barat, 7 Juli 1927. Ali kecil bercita-cita menjadi pelaut. Ia masuk ke Sekolah Tinggi Pelayaran di zaman Jepang. Saat perang kemerdekaan, ia masuk BKR-Laut, cikal bakal TNI-AL.
Bang Ali memang keras dan agak kontroversial. Simpel tapi langsung ke tujuan. Begitulah kesan kita terhadap sosok yang satu ini. Ia merupakan Gubernur DKI Jakarta yang paling legendaris. “Orangnya keras. Dalam bahasa Belandanya malah ada yang berkata dia “koppige vent, koppig,” begitu Soekarno pernah berkata.
Setelah masuk BKR-Laut, kemudian dikirim ke Tegal, Jawa Tengah untuk mernbentuk pangkalan AL dan Korps Marinir. Selain bertempur melawan Agresi Belanda I dan II . Ali Sadikin juga turut menumpas Permesta di Sulawesi Utara; Menurut cerita, dengan gagah berani ia maju ke garis depan, berlari sambil memberondongkan senapan mesin. Teman-teman Ali menamakannya “gaya Hollywood”.
Setelah pada 1963-1966 menjabat sebagai Menteri Perhubungan Laut sekaligus Menteri Koordinator Urusan-urusan Maritim, Ali diberi tugas khusus oleh Soekarno untuk memimpin ibukota. Ia dilantik sebagai Gubernur DKI oleh Presiden Soekarno pada tanggal 28 April 1966. Selama sebelas tahun (1966 - 1977), ia berupaya memoles Jakarta dengan kreativitas yang tinggi dan sikap yang tegas.
Sejak awal menjabat Gubernur DKI, Ali secara intensif keluyuran ke semua penjuru kota, menjelajahi jalanan dan gang-gang kumuh. Ia mendatangi pedagang di pinggir jalan, pengemis, dan penghuni gubuk-gubuk liar. “Saya merasakan kehinaan jutaan orang yang terpaksa mandi, cuci mulut, dan cuci pakaian di sungai-sungai terbuka,” tutur Bang Ali.
Jakarta pada masa itu amat kumuh. Pasar yang becek, jalanan berlubang setinggi lutut, serta timbunan sampah ada di mana-mana. Sistem angkutan kota runyam, gedung sekolah bobrok, dan fasilitas mandi-cuci-kakus tanpa air tersebar di mana-mana. Begitu buruknya situasi Jakarta sehingga para diplomat asing menyebutnya sarang wabah disentri.
Saling curiga di antara lapisan masyarakat juga belum surut menyusul tragedi 30 September 1965. Birokrasi seolah lumpuh di segala lini. Sementara itu, inflasi mencapai 600%, urbanisasi tak terbendung, dan penganggur membanjir. Kriminalitas merajalela.
Pemerintah DKI hanya punya dana Rp 66 juta untuk mengelola kota yang saat itu berpenduduk 4,6 juta jiwa. Ali Sadikin tidak putus asa. Ia menggebrak, berteriak, dan membentak aparat pajak agar mengerahkan pendapatan pajak. Ia menuntut kerja keras dari jajaran birokrat yang melayani kepentingan publik. Dengan sikap keras, ia mendisiplinkan sedikitnya 30 ribu pegawai kota praja. Kerja kerasnya sedikit demi sedikit membuahkan hasil.
Masalah kriminalitas juga menjadi perhatiannya. Bang Ali juga tak segan turun dalam operasi penggerebekan pencopet di terminal bus. “Saya suruh mereka (pencopet) berbaris. Tampar beberapa muka, lalu kami bertemu di Balai Kota,” kata Ali. Tindakan kongkret semacam inilah yang secara signifikan menurunkan tingkat kriminalitas. Simpati untuk Ali pun mulai meluas.
Karena terus dibelit masalah minimnya dana, Ali berpikir keras untuk mencari tambahan pendapatan bagi Pemda DKI. Ia melirik sumber dana alternatif yang sangat subur, yakni perjudian – suatu langkah yang memicu kontroversi berkepanjangan.
Sebetulnya UU No. 11/1957 memungkinkan pemerintah daerah memungut pajak atas izin perjudian yang diberikan bagi pengusaha Cina, sebab judi dianggap bagian dari budaya Cina. Namun, tak ada pejabat yang berani ambil risiko mengizinkan perjudian, yang haram bagi kaum muslim. Karena terpaksa, Bang Ali tak gentar menantang arus. “Untuk keperluan rakyat Jakarta, saya berani,” katanya
Sebagai permulaan izin perjudian pun diberikan pada pengusaha bernama Apyang dan Yo Putshong. Judi Lotto (lotere totalisator), petak sembilan, dan hwa-hwe, yang tadinya sembunyi-sembunyi, mulai dilakukan secara terang-terangan. Aneka jenis judi itu pun mulai diramaikan warga non-Cina. Protes pun datang, terutama dari kaum muslim.
Bagaimana dampak finansialnya? Tak seorang pun menyangkal, limpahan uang perjudian ini memang berdampak positif bagi Jakarta. Gedung sekolah dibangun, rumah sakit didirikan, puskesmas diperbanyak, dan jalan-jalan diperbaiki.
Dengan Proyek Mohammad Husni Thamrin, Ali gencar membenahi pemukiman kumuh. Ia juga merenovasi Taman Monumen Nasional (Monas) serta membangun Taman Ismail Marzuki, Gedung Arsip Nasional, Gelanggang Remaja Kuningan, Pasar Seni Ancol, Sekolah Atlet Ragunan, Planet Senen, sampai lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak. Di akhir masa jabatannya (tahun 1977), Pemda DKI masih memiliki saldo kas Rp 17 miliar.
Peran Ali Sadikin sangat signifikan dalam menciptakan Jakarta sebagai kota metropolitan dengan fasilitas modern, tidak lagi bercitra sebagai sarang disentri. Karakter kepemimpinan Ali yang tegas, bermoral, bersih, dan berwibawa, dinilai sebagai teladan yang langka. Ia sukses membangkitkan solidaritas, semangat, dan motivasi rakyat. Di kalangan rakyat kecil, popularitasnya cukup tinggi, walau ia mengizinkan berbagai penggusuran.
Ia mendapat anugerah Ramon Magsaysay pada 1971. Setelah pensiun dari kemiliteran (dengan pangkat terakhir Letjen KKO) dan tidak lagi menjabat Gubernur DKI, Bang Ali masih menjalin kontak dengan tokoh-tokoh nasional yang memiliki komitmen tinggi terhadap masa depan bangsa.
Ali Sadikin kemudian bergabung dalam kelompok sebuah kelompok yang terdiri dari tokoh-tokoh militer dan swasta yang kritis terhadap pemerintahan Presiden Soeharto yangmembuat rezim Orde Baru memberangus hak-hak politiknya.
Ali Sadikin meninggal dunia di Gleneagles Hospital di Singapura. Bang Ali meninggal akibat penyakit komplikasi pada hari Selasa, 20 Mei 2008.
Disclaimer:
Artikel “Ali Sadikin Mantan Gubenur DKI Tokoh Petisi 50” ini tidak dimaksudkan untuk membangkitkan kultus individu atau pemujaan berlebihan terhadap sosok tertentu, melainkan sebagai upaya mencegah amnesia sejarah (khususnya di kalangan generasi muda). Banyak hal yang bisa diteladani dari mereka yang telah mengubah sejarah bangsa ini.
Sumber: 100 TOKOH YANG MENGUBAH INDONESIA: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, Penerbit NARASI, Yogyakarta, 2005.
Ali Sadikin Mantan Gubenur DKI